Menurut david A. Seamand (healing for damaged emotion : 1972), sumber rusaknya emosi itu ada dua, yaitu :
1. Gagal memaafkan orang lain (fail to forgive),
2. Gagal menerima permintaan maaf dari oeang lain (fail to receive forgiveness).
Kegagalan kita di dua hal itu menyebabkan kebencian dan dendam berkelanjutan sehingga merusak sitem emosi. Memaafkan berarti menghapus. Apa yang perlu kita hapus? Menurut teori, idealnya penghapusan itu perlu dilakukan pada dua wilayah (domain) :
1. Domain intrapersonal (personal). Menghapus kebencian dan dendam dari kesalahan orang lain yang kita persepsikan telah merugikan, menyakiti, atau membahayakan kita.
2. Domain interpersonal(sosial). Menghapus tuntutan atas ganti rugi, baik secara materi atau nonmateri.
Untuk kesalahan yang tergolong kecil atau umum (ordinary), misalnya, hanya menimbulkan efek kerugian yang merupakan resiko berinteraksi, mungkin kita masih bisa dengan mudah melakukan penghapusan, baik kebencian atau ganti rugi.
Tapi bagaimana kalu kesalahan itu tergolong besar atau luar biasa, misalnya penganiayaan berat? Apa juga bisa menghapus? Nelson Mandela, orang hebat asal Afrika itu, ternyta punya prinsip sama dengan salah satu orang tua korban bom bali 1.
Kalau melihat di televisi, penjara tempat mandela diasingkan hapir mirip kandang kuda. Sudah begitu, dia juga kerap mengalami penyiksaan atau perlakuan kejam. Ketika akhirnya bebas, mandela bilang, lupakan (maafkan) kelakuannya, tapi ingat terus orang-orangnya.
Sama juga dengan yang dikatakan salah satu orang tua korban bom. Bapak setengah baya itu mengatakan, dirinya memaafkan anaknya yang hilang oleh kesalahan orang lain. Tapi, jangan sampai hukum memaafkan begitu juga. “dia juga harus di hukum berdasarkan hukum yang berlaku,” tegasnya sambil menangis.
Nah, dari dua contoh itu dan sejumlah contoh dalam praktik hidup, dapat kita simpulkan bahwa kemampuan manusia umtuk memaafkan itu tidak mutlak, alias nisbi dan terbatas karena memang manusia itu makhluk nisbi dan terbatas, tidak seperti tuhan yang memiliki kemutlakan.
Sudah nisbi dan terbatas begitu, level kesalahan orang pun beda-beda. Ada kesalahan yang memang masih dalam level bisa dimaafkan, baik kesalahan atau kesalahan dan tuntutannya sekaligus. Misalnya dalam kasus-kasus kecil, umum, dan biasa.
Ada juga kesalahan orang lain yang bisa dimaafkan kesalahanya saja, tidak tuntutannya seperti orang tua korban bom atau kasus lain. Ada juga kesalahan orang lain yang hanya bisa dimaafkan orangnya atau tuntutannya, bukan kesalahannya.
Misalnya, ada orang yang pernah punya utang kepada kita. Karena orang itu tidak bisa membayar atau kesulitan menagihnya, maka kita maafkan utang itu. Begitu dia mengajukan utang lagi, kita akhirnya menolaknya dengan alasan kasus sebelumnya.
Munculnya naluri manusia yang tidak serta-merta sanggup memaafkan kesalahan orang lain untuk level kesalahan tertentu ada hikmanya juga. Kalau semua manusia di beri kemampuan memaafkan secara mutlak, pasti edukasi sosial akan berhenti, penegakan hukum tidak jalan, dan dunia bisa jadi malah kacau.
Coba misalnya kalao pemerkosa dimaafkan begitu saja tanpa proses hukum, apa jadinya? Bahkan dikatakan, orang yang “terlalu meneloransi” kejahatan tidak termasuk ciri penyabar yang bersyukur mungkin termasuk forgetter, neglecter, and non forgiver.
Inti ajaran memaafkan sebetulnya adalah pembebasan dada dariberbagai bentuk kebencian atau energi negatif yang dikirim dari pikiran tau penilaian. Pembebasan ini penting, karena kalau tidak, akan merusak kita dan lingkungan. Soal kesehatan orang lain, itu ada yang masuk ke ranah hukum formal dan ada yang tidak, tergantung persepsi dan kondisi.
Nah, dari praktik hidup, sering kali kita gagal membebaskan dada karena ada beberapa hambatan yang gagal kita singkirkan. Beberapa hambatan itu antara lain :
Pertama, perfeksionis yang tidak sehat.
Perfeksionis itu ada yang bagus (search of excellence) dan ada yang tidak. Kalaukita menginginkan kesempurnaan karena alasan yang tidak masuk akal, tidak relevan dengan realitas, atau hanya karena ego subyektif kita, berarti kurang sehat.
Gejalanya antara lain : marah, menolak, kekhawatiran, perasaan negatif terhadap diri, dan memunculkan tuntutan yang tak masuk akal. Ini semua dapat menyulitkan kita memaafkan orang lain dan diri sendiri.
Kedua, kekerdilan jiwa.
Jiwa kita bisa kerdil karena pandangan hidup kita tidak luas, perspektif hidup kita sempit, atau jiwa kita kurang membuana. Saya pernah bertanya kepada seseorang pengusaha mengenai apa yang membuat dia tidak kapok membantu orang, padahal tidak semua orang yang di bantunya itu baik.
Jawabanya simpel. “hidup saya ternyata lebih baik dengan berbuat baik. Soal mereka tidak baik, itu urusan mereka.” ini adalah jawaban dari keberhasilan jiwa. Andai jiwanya kerdil, pasti dia kapok dan membenci orang tersebut.
Ketiga, generalisasi kesalahan orang lain.
Ada orang lain yang dipaksa untuk melakukan kesalahan kepada kita, masuk dalam skenario kejahatan, ketidaktahuan, atau ketidaksengajaan, korban, atau lain-lainnya. Semakin kita tidak mau tahu kenapa orang lain bersalah, semakin gagal kita memaafkan.
Hal lain yang kerap menghambat adalah ketika kita terlalu dan hanya menonjolkan kepentingan egoisme diri sendiri atau kepentingan jangka pendek semata dalam hubungan. Leluhur kita mengajarkan bahwa hidup ini isinya hanya memang mencari untung, tapi untung itu jangan selalu di maknai dengan materi. Kalau pas kebetulan tidak untung di materi, kita juga harus melihat keuntungan persahabatan jangka panjang sehingga dada kita bebas dari kotoran.
Kata bijak :
“orang yang terlalu menoleransi kejahatan tidak termasuk ciri penyabar yang bersyukur.”
“semakin kita tidak mau tahu kenapa orang lain bersalah, semakin gagal kita memaafkan.”
No comments:
Post a Comment